Barcelona 30 Tahun Lalu, Akan Kukenang Selalu

Alan Budikusuma, Darmiko, & Eddy Hartono (Djarum Badminton)
Alan Budikusuma, Darmiko, & Eddy Hartono (Djarum Badminton)
Nasional ‐ Created by EL

Kudus | Sudah larut malam ketika jutaan pasang mata menyaksikan pengumuman peraih medali emas bulu tangkis Olimpiade Barcelona 1992, yang disiarkan secara langsung oleh TVRI. Jangan lupa jua dengan jutaan pasang telinga yang mendengarkan melalui RRI. Mereka menyaksikan dan mendengarkan pencapaian Alan Budikusuma dan Susy Susanti di Pavelló de la Mar Bella, Barcelona, Spanyol, sebagai dua orang Indonesia pertama yang meraih keping emas Olimpiade melalui cabang olahraga bulu tangkis pada sektor tunggal putra dan tunggal putri.

Ditemui di Kudus, Jawa Tengah, pada pekan lalu, Alan tampak seolah tak percaya bahwa peristiwa penting dalam hidupnya tersebut, begitu pun dengan istrinya Susy, sudah  30 tahun berlalu. "Iya ya, nggak berasa waktu begitu cepat berlalu," kata Alan, saat berbincang dengan Djarum Badminton di salah satu gedung olahraga milik PB Djarum di Kecamatan Jati.

Alan, kini berusia 54 tahun, ingat betul, lawannya di final Barcelona 92 adalah rekan satu klub dan pelatnas Ardy Bernadus Wiranata. Sekelumit ia menceritakan momen-momen terakhir ketika medali emas seolah sudah berada di pelupuk mata, hingga akhirnya menuntaskan partai puncak tersebut dengan dua gim langsung 15-12, 18-13. "Tentunya saya masih ingat, hampir semuanya saya ingat terutama di saat momen-momen pas terakhir," tuturnya.

"Kebetulan, saya bermain dengan rekan saya, teman baik saya, Ardy B Wiranata. Hal tersebut, semua yang terjadi di Barcelona 30 tahun yang lalu itu menjadi sebuah memori atau sebuah kenangan yang manis buat saya," Alan, menambahkan.

Lain Alan, lain pula bagi Ardy. Tim Historia, melalui buku Dari Kudus Menuju Prestasi Dunia menuliskan bahwa Ardy sebenarnya lebih diunggulkan dalam perebutan medali emas pada cabang olahraga yang perdana diperlombakan pada Olimpiade. Namun, Alan mampu mengalahkan Ardy melalui pertarungan dua gim. "Pengalaman pahit adalah kalah di final Olimpiade 1992. Sebenarnya saya tidak peduli  siapa lawan saya, sesama pemain Indonesia atau negara lain," tutur Ardy.

"Waktu final, Alan bermain lebih bagus dari saya. Kecewa ya itu pasti. Bohong kalau saya bilang tidak kecewa. Tapi saya bangga bisa menyumbang medali perak buat Indonesia," ungkap juara enam kali Indonesia Open (1990, 1991, 1992,  1994, 1995, dan 1997) ini, dalam buku setebal 342 halaman tersebut.

Jauh sebelum peristiwa penting yang terukir di negeri matador tersebut, Alan kecil mengaku hanya sekadar diajak kedua orangtuanya, Aria Wiratama dan Veronica Wiratama, untuk bermain kemudian berlatih bulu tangkis. Aria dan Veronica adalah atlet bulu tangkis yang kerap menjadi juara di tingkat provinsi di Jawa Timur. "Saya yang penting dulu itu asal nepok lah. Itu pun karena diajak oleh orangtua yang doyan main bulu tangkis. Tapi lama kelamaan, semakin lumayan mainnya, karena diajarin teknik dasarnya, lalu diikutikan bertanding di banyak kejuaraan atau turnamen," tutur Alan, yang mulai mengikuti kejuaraan sejak kelas 3 SD.

Alan kemudian megingat-ingat kembali awal kariernya yang bermula ketika ayahnya menawarinya untuk lebih serius di olahraga pukul bulu ini dengan masuk ke klub Rajawali. Kebetulan, Aria adalah pemain sekaligus pelatih di klub asal Surabaya tersebut. Tak lama, Alan pindah ke klub Suryanaga. Dari Surabaya, Alan merintis karier sebagai pemain bulu tangkis dengan menjuarai turnamen-turnamen di tingkat daerah serta nasional.

Usai menjadi runner-up nasional junior, pada 1983 saat berumur 15 tahun, Alan diajak bergabung ke klub PB Djarum Kudus. Ia pun mengiyakan ajakan tersebut, karena dalam pandangannya, PB merupakan klub yang sangat disegani dalam gelanggang bulu tangkis nasional. Terlebih, dari klub yang berpusat di Kudus tersebut lahir sejumlah atlet, seperti Liem Swie King, Hastomo Arbi, atau Christian Hadinata.

"Kalau ingat dulu, jauh sebelum Barcelona 1992, saya ikut banyak sistem atau metode pelatihan dan perekrutan di klub-klub. Kalau dibandingkan dengan sekarang, memang jauh. Jauh berbeda. Tapi secara umum, persaingan untuk menjadi yang terbaik dan menonjol di level klub, tetap sama. Memang berat perjuangannya sebelum saya masuk pelatnas," Alan, mengungkapkan.

Pekan lalu, Alan dan Susy dipercaya untuk masuk ke dalam Tim Pencari Bakat, yang bertugas memantau talenta-talenta belia dari berbagai pelosok di Tanah Air, untuk kemudian dibina di PB Djarum. Di belakang lapangan, sering kali ia bertukar pikiran dengan istrinya tentang performa salah satu pemain tunggal putra yang tengah berlaga di lapangan. Juga, tampak Alan berdebat serius dengan sejumlah pelatih PB Djarum, untuk memperjuangkan satu nama atlet saja, yang dinilainya memiliki bakat yang dapat diasah di kemudian hari.

"Luar biasa anak-anak ini. Mereka berjuang dengan gigih dan habis-habisan karena ingin mendapatkan kesempatan untuk masuk dan bermain untuk PB Djarum. Terlebih, saya lihat, mereka yang datang jauh-jauh dari luar Pulau Jawa. Memang hebat mereka," tanggapnya.

Di pengujung Audisi Umum PB Djarum 2022, dari 2334 peserta, Tim Pencari Bakat akhirnya memilih 51 pebulu tangkis belia untuk kemudian masuk ke karantina di asrama PB Djarum. Perjuangan puluhan atlet tersebut belum berakhir karena mereka akan menjalani tiga minggu masa karantina hingga akhirnya mendapatkan Djarum Beasiswa Bulutangkis dan bergabung dengan PB Djarum. Alan pun mewanti-wanti kepada para atlet putra dan putri di dua kelompok U-11 dan U-13 ini untuk memanfaatkan sebaik-baiknya momen penting ini. "Kesempatan ini harus dipergunakan sebaik-baiknya. latihan yang baik, giat, fokus, kerja keras, dan saya berharap kalian kelak dapat menjadi juara dunia," pesannya.